Kapitalisme dan Konsumerisme: Agama Baru Umat Manusia?

Thufael Amrad Huza
4 min readOct 14, 2024

--

Saat kita melangkah ke abad ke-21, satu hal yang tampak jelas: kapitalisme dan konsumerisme telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Mungkin tanpa kita sadari, keduanya bahkan telah menggantikan banyak nilai dan sistem kepercayaan tradisional yang dulu mendominasi. Tapi, apakah kapitalisme dan konsumerisme hanya sistem ekonomi, atau apakah mereka telah berkembang menjadi semacam “agama baru” yang memandu cara kita menjalani hidup?

Bayangkan sejenak: setiap hari kita dibombardir dengan iklan, media sosial, dan budaya pop yang mendorong kita untuk membeli barang-barang terbaru, mencicipi pengalaman yang paling eksotis, atau mengejar gaya hidup yang dianggap ideal. Semua ini dipresentasikan dengan satu janji besar — kebahagiaan. Tapi apakah benar kebahagiaan dapat ditemukan dalam membeli lebih banyak? Mari kita selami lebih dalam konsep kapitalisme dan konsumerisme ini, dan bagaimana keduanya mungkin telah menjadi semacam “keyakinan modern.”

Kapitalisme: Ideologi yang Tak Terelakkan

Kapitalisme tidak hanya sekadar sistem ekonomi di mana barang dan jasa dipertukarkan untuk keuntungan. Ia telah berkembang menjadi cara pandang yang sangat mengakar dalam kehidupan kita. Dari industri besar hingga warung kecil, semuanya beroperasi dalam kerangka kapitalisme. Kita diajarkan bahwa dengan bekerja keras, menabung, dan berinvestasi, kita dapat mencapai kesuksesan dan kemakmuran.

Kapitalisme memiliki daya tarik yang besar karena ia menawarkan kesempatan bagi siapa saja untuk “berhasil.” Banyak negara, terutama yang maju, mendasarkan kemakmuran mereka pada pertumbuhan ekonomi yang terus-menerus, dan pada gilirannya, kesejahteraan masyarakat seolah-olah bergantung pada seberapa banyak kita mengonsumsi. Namun, apakah ini benar-benar representasi dari kebebasan, atau kita justru semakin terjebak dalam “perlombaan tanpa akhir”?

Di sinilah kapitalisme mulai terlihat menyerupai agama. Ada keyakinan yang hampir tak tergoyahkan bahwa pasar akan memecahkan semua masalah. Ketika menghadapi krisis, jawaban yang paling sering terdengar adalah: “Ekonomi akan tumbuh kembali, dan semua akan baik-baik saja.” Namun, seperti halnya agama yang memerlukan pengorbanan, kapitalisme juga menuntut pengorbanan besar, baik dari segi waktu, tenaga, maupun kesejahteraan pribadi.

Uang: Mata Uang Kepercayaan Global

Yang menarik, Harari, dalam bukunya Sapiens, menyebutkan bahwa uang mungkin adalah sistem kepercayaan paling sukses yang pernah diciptakan manusia. Uang memiliki kekuatan yang luar biasa untuk menyatukan orang dari berbagai latar belakang, karena semua orang sepakat untuk percaya pada nilai yang sama.

Di balik lembaran kertas atau koin logam yang kita anggap bernilai, sebenarnya tidak ada apa-apa selain kepercayaan bersama. Semua ini hanya berfungsi karena kita secara kolektif setuju bahwa uang dapat ditukar dengan barang dan jasa. Dengan cara ini, uang telah menjadi simbol kekuasaan terbesar dalam masyarakat modern. Tak peduli dari mana asal seseorang, nilai uang yang diakui global menjadikan kapitalisme alat yang begitu kuat untuk menciptakan kesepahaman di seluruh dunia.

Konsumerisme: Kebutuhan atau Keinginan yang Tak Pernah Terpenuhi?

Kapitalisme berkembang melalui konsumsi. Konsumerisme adalah anak kandung dari kapitalisme, di mana kita sebagai individu didorong untuk selalu membeli lebih banyak — lebih banyak barang, lebih banyak layanan, lebih banyak pengalaman. Setiap saat, kita dihadapkan pada iklan dan promosi yang menyatakan bahwa untuk mencapai kebahagiaan, kita harus memiliki barang-barang tertentu atau menikmati pengalaman tertentu.

Namun, ketika seseorang terus-menerus membeli barang-barang baru, kebahagiaan yang dirasakan seringkali hanya sementara. Produk yang baru dibeli hanya memberikan kegembiraan singkat sebelum segera digantikan oleh keinginan untuk mendapatkan sesuatu yang lain. Ini menciptakan siklus konsumsi yang tak ada habisnya, di mana kita merasa selalu perlu lebih banyak untuk mencapai “kebahagiaan sempurna.”

Di sinilah konsumerisme mulai terasa seperti bentuk lain dari agama. Ia memiliki “doktrin” tersendiri: bahwa kita harus terus-menerus membeli dan memperbarui untuk mencapai kepuasan diri. Iklan adalah “kotbah” modern, dan pusat perbelanjaan adalah “kuil” di mana kita mempersembahkan uang kita demi kebahagiaan sementara.

Siapa yang Diuntungkan?

Pertanyaannya kemudian, siapa yang benar-benar diuntungkan dari sistem ini? Tentu saja, perusahaan-perusahaan besar dan individu kaya yang mengendalikan sumber daya terbesar di dunia. Tapi apa dampaknya bagi masyarakat secara keseluruhan?

Kapitalisme memungkinkan segelintir orang untuk menjadi sangat kaya, sementara jutaan lainnya hidup dalam kondisi yang sangat tidak seimbang. Ketidaksetaraan menjadi lebih jelas, dengan sebagian kecil populasi mengendalikan sebagian besar kekayaan global. Ini menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dalam distribusi kekayaan dan sumber daya.

Selain itu, dampak negatif terhadap lingkungan sangat terasa. Pola konsumsi yang berlebihan mendorong eksploitasi sumber daya alam yang berkelanjutan. Hutan-hutan ditebang, lautan tercemar, dan perubahan iklim semakin memburuk karena dorongan untuk terus memproduksi lebih banyak barang.

Menuju Kehidupan yang Lebih Berarti

Di sinilah pentingnya berhenti sejenak dan memikirkan: apakah benar kebahagiaan dapat ditemukan dalam konsumsi tak terbatas? Atau mungkin ada jalan lain menuju kehidupan yang lebih bermakna?

Kita mungkin perlu meninjau kembali apa yang kita nilai sebagai manusia. Apakah kemakmuran hanya diukur melalui kekayaan material, atau ada hal-hal lain yang lebih berarti — seperti hubungan sosial, kesehatan mental, atau bahkan kebahagiaan sederhana yang tidak membutuhkan barang mewah? Banyak orang mulai menyadari bahwa kualitas hidup tidak selalu ditentukan oleh seberapa banyak barang yang kita miliki, melainkan oleh kedamaian batin, rasa terhubung dengan orang lain, dan kebebasan dari tekanan sosial untuk terus-menerus “memiliki lebih.”

Penutup: Apakah Kita Masih Mengontrol Hidup Kita?

Kapitalisme dan konsumerisme telah membentuk dunia modern seperti yang kita kenal. Tapi dengan segala kekuatan yang dimilikinya, mereka juga memunculkan tantangan besar — dari ketidaksetaraan ekonomi hingga kerusakan lingkungan. Mungkin sekarang saatnya untuk berpikir ulang tentang bagaimana kita menjalani hidup kita, apa yang benar-benar penting, dan apakah kita benar-benar ingin terus terjebak dalam “perlombaan” yang tak ada habisnya ini.

Pada akhirnya, kapitalisme bisa menjadi alat yang kuat untuk menciptakan inovasi dan kemakmuran, tapi juga perlu diimbangi dengan kesadaran bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan sejati tidak selalu berasal dari barang-barang yang kita beli.

--

--

No responses yet